Bila Google Jadi Membeli Twitter - kemungkinan Google mencaplok Twitter sudah lama beredar. Malah ada beberapa saran agar Google benar-benar membeli sebagian saham Twitter. Diluncurkannya situs jejaring sosial Google+ sempat membuat orang percaya minat Google terhadap situs microblogging itu menurun.
Namun ternyata hasrat Google tersebut tak pernah surut. Ada beberapa alasan kuat mengapa Google ternyata masih tetap ngotot ingin membeli Twitter. Pertama daya jangkau. Sejak diluncurkan hingga Agustus lalu, Google+ baru memiliki 25 juta anggota. Twitter punya 300 juta pengguna hingga Mei lalu.
Dari jumlah itu ada perbedaan mencolok antara sekadar memiliki akun dan benar-benar menggunakannya. Dalam hal ini Twitter jauh lebih unggul. Banyaknya jumlah pengguna tersebut bisa merepresentasikan seberapa besar uang yang mengalir ke perusahaan. Google melihat bisnis seperti itu dari Facebook.
Kedua, dan paling penting, adalah relevansi atau keterkaitan. Dalam situs jejaring sosial, semua informasi terbaru mengalir cepat. Sedangkan dalam mesin pencari tradisional, hal seperti itu tak bisa didapat. Dengan memasukkan mesin pencari real-time menjadi bagian dari Google akan mengubah citra situs pencari terbesar itu. Dari sekadar menyajikan informasi lama akan berubah menjadi breaking news.
Itulah sebabnya mengapa Google+ berintegrasi dengan mesin pencari Google. Karena jumlah penggunanya sedikit, jalan pintas bagi Google adalah membeli Twitter. Lantas apa keuntungan bagi Twitter jika akuisisi terjadi? Banyak. Yang utama penghematan biaya. Twitter juga dapat memanfaatkan infrastruktur milik Google.
Ada kemungkinan Google akan menggelontorkan dana segar sebesar US$ 8-10 miliar atau Rp 68-85 triliun. Hal itu tentu akan memperbaiki keuangan Twitter. Penggabungan dengan layanan Google lainnya, seperti G-mail dan Google Talk, akan menambah popularitas Twitter itu sendiri.
Namun rencana akuisisi ini bukan tanpa tentangan. Beberapa pesaing Google sudah menyatakan keberatan bila raja mesin pencari itu juga ingin menjadi raja situs jejaring sosial. Bahkan mereka menuding Google melakukan bisnis kartel. Meski begitu, bila melihat sepak terjang Google pada masa lalu, bukan tidak mungkin kegagalan akan kembali dialami Google.
Google pernah membeli situs layanan sosial, seperti Aardvark; layanan berdasar lokasi, Dodgeball; dan microblogging Jaiku. Semua berakhir dengan ditutupnya layanan tersebut. Akankah nasib itu juga bakal menimpa Twitter jika telah diakuisisi Google? Banyak yang memberi saran, ketimbang membeli Twitter, Google lebih baik membeli akses ke situs microblogging paling populer itu.
www.tempointeraktif.com
No comments:
Post a Comment